UB Official | Prasetya | Gapura | SIAM
[:in]Dorong Antusiasme Raih Kursi Mahasiswa[:]
[:in]Peluang dan Perjuangan Kaum Difabel Mengakses Pendidikan Tinggi
Seiring mulai bergaungnya kampanye hak-hak penyandang disabilitas atau difabel, pendidikan tinggi mulai memberikan afirmasi. Namun, kaum difabel belum antusias merebut kursi mahasiswa. Tantangannya berliku.
Seiring mulai bergaungnya kampanye hak-hak penyandang disabilitas atau difabel, pendidikan tinggi mulai memberikan afirmasi. Namun, kaum difabel belum antusias merebut kursi mahasiswa. Tantangannya berliku.
Pernah mendapati iklan lowongan kerja yang mengharuskan pelamar lulusan minimal S-1 atau syarat sejenisnya? Atau mendapati pertanyaan apakah punya gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, dan sejenisnya saat wawancara untuk suatu pekerjaan? Di negeri ini, persyaratan dan pertanyaan semacam itu sepertinya bukan sesuatu yang jarang dijumpai. Bahkan, ijazah bisa menjadi ”segala-galanya”, termasuk dalam mendapatkan lapangan kerja.
Bagi sebagian kalangan, persyaratan semacam itu memang seperti sesuatu yang lumrah. Tapi, bagi penyandang disabilitas (difabel), dengan kondisi pendidikan saat ini, lulus dari universitas sebagai syarat memasuki dunia kerja merupakan sesuatu yang luar biasa. Alih-alih lulus tingkat sarjana, bahkan mentas program wajib belajar 12 tahun saja sudah istimewa.
Sebagaimana diketahui, peningkatan pendidikan merupakan salah satu cara yang bisa membuka peluang bagi siapa saja untuk lepas dari jerat kemiskinan. Tidak terkecuali para difabel untuk bisa lebih sejahtera dengan pekerjaan yang layak. Tapi, data Badan Pusat Statistik (BPS) dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2016 menunjukkan bahwa para difabel memang belum mendapat akses pendidikan.
Dari 10.882.923 angkatan kerja difabel di Indonesia, mayoritas mutlak atau 65,88 persen adalah lulusan SD atau sederajat. Seperti piramida, yang menuntaskan pendidikan level atasnya juga semakin kecil. Tercatat 12 persen atau 1.319.436 yang lulus SMP; 9,33 persen (1.014.937 orang) lulus SMA, dan 5,32 persen (579.332 orang) tamat SMK. Adapun yang lulus diploma sebanyak 173.321 difabel (1,59 persen) dan 626.383 lainnya (5,76 persen) lulusan universitas.
Jika disandingkan dengan program wajib belajar 12 tahun, data Sakernas itu menunjukkan adanya jurang antara mereka yang bisa menuntaskan program dan yang tercecer. Tercatat, 8.488.950 difabel (78 persen) belum atau tidak mampu menikmati program wajib belajar 12 tahun. Sedangkan yang menuntaskannya 2.393.973 difabel (22 persen).
Sudah tentu banyak faktor yang melatarbelakangi minimnya difabel bisa mengakses pendidikan sebagai salah satu loncatan untuk bersaing di dunia kerja. Salah satu penyebabnya, penyandang disabilitas tidak mendapat hak dan kesempatan yang sama seperti warga masyarakat lainnya.
”Penyandang disabilitas sering dipandang sebagai orang yang tidak berdaya sehingga tidak perlu diberi pendidikan dan pekerjaan. Mereka cukup dikasihani dan diasuh untuk kelangsungan hidupnya,” jelas Slamet Thohari MA dari Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) Universitas Brawijaya, Malang, dalam Jambore Inovasi Jatim (5/12) bersamaan dengan peluncuran program Ayo Inklusif!.
Bahkan, tidak sedikit keluarga yang tidak paham bagaimana mengasuh dan merawat anak difabel. Kehadiran anak difabel sering kali dianggap sebagai kiamat dan yang bersangkutan di proteksi sedemikian rupa dengan alasan iba, kasihan, serta sejenisnya. Karena cara pandang kasihan, anak difabel tidak dilibatkan dalam berbagai kegiatan umum, termasuk tidak mendapatkan pendidikan layaknya nondifabel.
Tak heran jika para pendaftar mahasiswa baru dari kalangan difabel tidak membeludak layaknya nondifabel. Di Universitas Brawijaya, misalnya, kendati tersedia program beasiswa untuk difabel, ternyata pendaftarnya tidak terlalu tinggi. ”Tahun ini beasiswa difabel ditingkatkan menjadi 30 dari 25 orang di tahun-tahun sebelumnya,” jelas Slamet Thohari.
Namun, tambah Slamet, pengalaman tahun-tahun sebelumnya menunjukkan bahwa pendaftar dari jalur itu tidak begitu membeludak. ”Paling banter yang mendaftar hanya 50 orang. Artinya, 1 berbanding 2,” terangnya. Bandingkan dengan jalur umum, bahkan bukan beasiswa. Seringkali perbandingan kuota dan pendaftarnya mencapai 1 banding 10.
Pengalaman serupa dialami Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) yang sejak 2016 membuka beasiswa difabel. Pada tahun pertama itu, misalnya, kendati universitas mengalokasikan ”hanya” lima kursi, ternyata kuota tersebut tidak terpenuhi. ”Pada tahun pertama itu hanya tiga orang yang mendaftar,” jelas Rektor UM Surabaya Dr dr Sukadiono MM pada 29 Desember lalu.
”Selama ini, jarang ada akses beasiswa untuk difabel. Karena akses kampus sudah mulai ramah dalam memberikan pelayanan untuk difabel, kami membuka beasiswa untuk difabel,” tambah Sukadiono. Program yang dinamai Difabel Berdaya itu merupakan bentuk kontribusi UM Surabaya terhadap dunia pendidikan. ”Kami juga harus mengangkat harkat mereka yang ter tindas secara sistemik dan ste reotip seperti para kalangan disabilitas ini,” imbuhnya.
Penyebab minimnya jumlah penyandang disabilitas yang mengenyam pendidikan tinggi bukan hanya masalah biaya pendidikan dan adaptasi, tapi juga, salah satunya, tingkat pendidikan sebelumnya. Masih sedikit siswa berkebutuhan khusus (termasuk difabel) yang diterima dengan mudah disekolah umum, berpartisipasi dalam semua kegiatan sekolah atas dasar kesamaan, dan memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai keberhasilan.
”Beasiswa khusus difabel merupakan kebijakan afirmatif,” jelas Slamet tentang kenapa harus ada beasiswa khusus. Sebab, banyak hambatan yang dialami para difabel untuk bisa memasuki perguruan tinggi sehingga diperlukan berbagai upaya yang bisa mempercepat kesetaraan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Jika beberapa perguruan tinggi telah ”menyelesaikan” masalah kuliah difabel, ternyata urusan tidak langsung tuntas. Setali tiga uang dengan pendidikan, dunia lapangan kerja juga masih sedikit memberi peluang bagi para penyandang disabilitas. Mulai persyaratan hingga aksesibilitas yang kurang terjangkau bagi penyandang disabilitas.
”Salah satu tujuan kami bersekolah tinggi-tinggi adalah mendapatkan pekerjaan yang layak,” tutur Tutus Setiawan, pegiat tunanetra dari Yayasan Pendidikan Anak Buta (YPAB) Surabaya, dalam acara Cangkruk’an JTV yang tayang pada pukul 20.00 WIB 23 Desember lalu. ”Tapi, setelah selesai sekolah, banyak yang tidak bisa terserap dunia kerja, baik karena akses informasi maupun akses akomodasi yang belum tersedia,” imbuhnya.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Pemprov Jatim Setiajit menyerukan kepada perusahaan untuk mulai mengakomodasi tenaga kerja difabel. Selain amanat itu telah tertuang dalam UU 8/2016, Setiajit juga menjamin berbagai kelebihan tenaga kerja difabel.
”Para pekerja difabel justru memiliki loyalitas yang luar biasa, memiliki attitude yang luar biasa. Mereka tidak terpengaruh huruhara atau sebagainya atau kepentingan politik lainnya,” jelas dia. Pemerintah pun mendorong agar pemberi kerja bisa memberikan lebih banyak akses kepada difabel. ”Disnaker akan menjamin,” tegasnya. (moh. kholid
a.s./c11/www.jpip.or.id)
Telah diterbitkan di The Jawa Pos Institute of Pro Otonomi pada 17 Januari 2018. Diterbitkan ulang di halaman ini untuk tujuan pendidikan.[:]